Oleh: Alip Sugianto
Staf Pengajar di Universitas Muhammadiyah Ponorogo
Di sebagaian kalangan masyarakat tersebar Mitos bahwa bupati Ponorogo pemilihan langsung oleh Rakyat belum pernah dijabat oleh satu orang dalam kurun waktu dua periode menjabat, hal ini tepatnya Pasca bupati Markoem Singodimedjo yang menjabat selama dua periode. Sejak terhitung pemilu pasca reformasi atau 4 kali Pemilu di kabupaten dijabat oleh bupati selama satu periode, sehingga oleh sebagian orang muncul mitos-mitos yang berkembang di tengah masyarakat. Melihat fakta demikian sebenarnya menunjukan persaingan pemilukada di kabupaten Ponorogo sangat seru karena banyaknya persaingan antar kandidat yang berusaha meraih suara masyarakat.
Pemilu tahun 2005 terdiri dari lima pasang yaitu Supadjar-Muryanto, Muhadi-Amin, Suprianto-Handoko Sudrisman (PDI), Yuli Nursanto-Sunarno, Asmuni-Susilo. Dari kelima kandidat tersebut yang menjadi incumbent saat itu adalah Muryanto sebagai bupati Ponorogo yang menjabat kurang lebih satu tahun karena hanya Pelaksana Tugas Sementara. Sebagai petahana, tidak bisa mempertahankan posisi menjadi bupati yang saat itu kalah dengan Muhadi-Amin, kekuatan Muhadi Amin ini menang dari empat kandidat lainnya karena beberapa factor salah satunya jaringan Muhadi sebagai seorang birokrat tulen yang menjabat sebagai sekda Probolinggo banyak memiliki jaringan di Pusat sementara Amin sebagai Ketua Paguyuban Kepala Desa di Ponorogo yang banyak dikenal luas oleh Masyarakat, sehingga pasangan Muhadi-Amin ini sebagai gambaran kekuatan luar dalam, perpaduan yang cocok.
Pada Pemilu 2010 hubungan Muhadi Suyono dengan Amin dalam koalisi terjadi pecah kongsi, dimana pak Muhadi sebagai seorang bupati memiliki kekuatan organisatoris, birokratis dan kuat dalam pemerintahan, namun kurang dalam sosial kemasyarakatan dibandingkan wakilnya, sementara itu, Amin lebih banyak terjun di lapangan sebagai Mubalig sehingga popularitas antara bupati dan wakilnya lebih banyak dikenal wakilnya. Melihat kondisi demikian, muncul banyak penantang petahana, dimana Muhadi Suyono sebagai incumbent mencalonkan kembali dengan Yusuf Pribadi yang menjabat sebagai sekda Ponorogo dan menurut penelis keduanya memiliki tipikal yang sama yang diusung oleh PKB, PDI, PKS dan Hanura.
Sementara penantang baru saat itu adalah Supriyanto berpasangan dengan Nyamut Susesno yang saat itu sebagai kepala desa Crabak, nampaknya strategi ( PRIMUS) ini meniru langkah Muhadi yang mengaet Amin pada periode awal, sementara Amin sebagai wakil bupati incumbent menggandeng Yuni Widyaningsih berangkat dari Golkar pasangan ini potret dari kekuatan modal sosial dan finansial. Hasil Pemilu 2010 dimenangkan oleh Pasangan Amin-ida (ADA) dengan memperoleh 46.538% atau 243.140 suara, nomer dua (HAYU) dengan perolehan 31.940% atau 116.870 suara, dan yang ketiga pasangan PRIMUS dengan perolehan 21.522% atau 112.441.
Pada pemilu 2015 terdapat empat pasang kandidat bupati Ponorogo yaitu incumebent Amin maju dengan Agus Widodo yang didukung (PKB dan PDI), Sugiri Sancoko-Sukirno (Golkar, Demokrat, PKS dan Hanura), Misranto-Isnen Supriyono melalui jalur Independen, Ipong-Soedjarno (Gerindra, PAN, Nasdem). Dari hasil pemilu 2015 tersebut pasangan Sugiri Sukirno memperoleh 36,8% atau 205.587 suara, Amin-Agus 22,15% atau 123.761, Misranto-Isnen Supriyono memperoleh 1,68% atau 9.416 suara, Ipong-Soedjarno memperoleh 39,37% atau 219.949 suara. Petahana kalah dan menempati posisi nomer 3 dari 4 kandidat, dan dimenangkan pendatang baru Ipong-Soedjarno.
Pada pemilu 2020 rivalitas kembali terjadi antara Sugiri dengan Ipong, Sugiri bergandengan dengan Lisdyarita yang diusung oleh PDI, PAN, PPP dan Hanura, sementara Ipong dengan Bambang diusung oleh Nasdem, PKB, Demokrat, Gerindra, Golkar, PKS. Sugiri memiliki modal sosial sementara lisdyarita modal finansial dengan background sebagai seorang pengusaha. Sementara Ipong bergandengan dengan seorang birokrat. Sugiri Lisdyarita menang telak dengan unggul 61,7 %. Tentu perjalanan pemilu di Ponorogo selama 4 kali yang berganti-ganti bupati tersebut, menjadikan sebagai masyarakat menjadi mitos bahwa pemilu di Ponorogo 1 periode kepemimpinan.
Jika melihat dari perjalanan pesta demokrasi di Ponorogo di atas banyak pelajaran yang berharga, sebab musabab sulitnya mempertahankan kepemimpinan selama dua periode yaitu retaknya hubungan bupati dan wakilnya, penghiatan terselubung, kurangnya hubungan baik dengan rakyat, serta kurang harmonisnya antara calon dengan partai pendukung dan pengusung sehingga kebanyakan sulit untuk menapaki periode selanjutnya, tentu mitos tersebut bisa dipatahkan selama para kandidat bisa menjaga harmonisasi kepaada semua elemen dalam membangun Ponorogo menjadi lebih baik.
Posting Komentar